Jip.co.id - Kesempatan untuk menjelajahi eksotisme kota Manila, membuat mata JIP langsung tertuju pada satu ikon ibu kota Filipina. Sebuah jip klasik yang disulap menjadi transportasi rakyat dan telah mengabdi lebih dari lima dekade.
Sosoknya yang klasik bercampur dengan ornamen dan aksesori khas serta diiringi deru mesin serta kepulan asap pekat telah menjadikannya ‘raja’ di padatnya jalanan Manila. Tak salah jika Jeepney mendapat julukan “King of the Road”.
Kehadirannya sejak paska perang dunia kedua telah menjadi solusi kebutuhan transportasi perkotaan dengan harga terjangkau. Namun di balik itu, Jeepney kerap memainkan peran antagonisnya dengan gaya mengemudi yang kerap mengganggu pengguna jalan lain dan kerap dituduh sebagai biang keladi kemacetan.
Namun itulah Jeepney, sang ‘raja’ yang sosoknya kerap dibenci namun juga diperlukan oleh sebagai besar masyarakat Filipina.
Baca Juga: Harga Terkini Jeep Grand Cherokee Tahun 2000 di Jabodetabek, SUV 4x4 yang Tangguh
Sejarah Jeepney sejatinya cukup panjang. Kedekatan Filipina dan Amerika khususnya di bidang militer setelah perang dunia kedua selesai, menjadi latar belakang kelahiran Jeepney. Saat itu, militer Amerika didesak untuk mengurangi jumlah kekuatan militernya di Filipina, setelah memasuki masa damai.
Salah satu langkahnya adalah menghibahkan puluhan ribu Jeep Willys untuk Filipina. Di saat yang sama, Filipina dihadapkan pada kebutuhan transportasi publik yang mendesak.
Dengan surplus Jeep Willys yang melimpah, pemerintah Filipina berencana untuk membuat angkutan multifungsi yang bisa digunakan untuk menampung delapan hingga dua puluh penumpang berikut barang bawaan.
Awal dekade ’50-an menjadi sejarah kemunculan Jeepney. Konon, istilah Jeepney berasal dari sebutan tentara Amerika di Filipina yang berasal dari dua kata, ‘Jeep’ dan ‘Jitney’ yang diartikan sebagai bus. Sementara penduduk lokal Manila dan Filipina menyebut Jeepney dengan sebutan ‘Dyip’ yang artinya ‘Jeep’ dalam bahasa lokal mereka.
Sarao Motors adalah pabrik karoseri pertama dan tertua yang memproduksi Jeepney sejak 1953. Awalnya, Sarao Motors hanya sebuah toko dan bengkel mobil di salah satu sudut kota Baranggay, sebuah kota kecil di kota Las Pinas di pinggiran Manila.
Adalah ide Eduardo Sarao, yang menggabungkan antara muka Jeep Willys dengan sasis pick-up. Namun Ed, panggilan akrab Eduardo, lebih memilih mesin buatan Jepang yang saat itu sedang booming dan memiliki harga lebih terjangkau serta mudah dalam perawatannya.
Setelah beberapa kali membuat prototipe Jeepney, Ed memilih mesin diesel empat silinder buatan Isuzu. Booming mobil buatan Jepang ternyata turut membuka jalan lebar untuk produksi Jeepney secara massal.
Baca Juga: Beberapa Hal yang Bisa Menyebabkan Mesin Mobil Mati Mendadak
Mesin dan sasis buatan Jepang seperti Isuzu dan Toyota menjadi komponen paling umum digunakan untuk Jeepney. Era dekade ’70-an menjadi era keemasan bagi Jeepney. Menurut Ed, Sarao Motors bisa memproduksi Jeepney hingga 200-300 unit per tahun. “Keputusan Presiden Ferdinand Marcos untuk membuat Jeepney sebagai transportasi perkotaan di Manila, membuat Jeepney menjadi ikon hingga kini,” ujarnya.
Selain Sarao Motors, menjamur pula puluhan karoseri atau produsen Jeepney lainnya. Namun hingga kini, Jeepney masih diproduksi secara handmade. Tak ada fabrikasi dan regulasi khusus yang mengatur tentang spesifikasi Jeepney.
Kini, harga satu unit Jeepney adalah 650 ribu Peso, atau sekitar Rp 171 juta. Harga tersebut tentunya sangat fleksibel, tergantung pilihan mesin dan sasis yang dipilih. Mesin dan sasis Toyota Tamaraw (di Indonesia dikenal sebagai Toyota Kijang), Mitsubishi L200 atau Isuzu D-Max masih menjadi favorit.
Namun untuk bodi, baik Sarao Motors dan karoseri Jeepney lainnya masih sangat menyukai bodi Willys dengan kabin belakang yang dipanjangkan supaya bisa memuat 10 hingga 20 orang penumpang.
Yang paling unik adalah pemilihan aksesori di tubuh Jeepney. Pengemudi dan pengusaha Jeepney percaya bahwa semakin ramai aksesori di Jeepney, semakin mudah pula dalam menggaet calon penumpang. Nyaris tak ada Jeepney yang tampil standar. Tentunya hal tersebut memberikan warna tersendiri untuk kota Manila dan sekitarnya.
Meledaknya populasi Jeepney membawa masalah baru bagi kota Manila. Mulai dari disiplin pengemudi yang rendah hingga kerap dituduh sebagai biang kemacetan, sampai faktor keamanan, menjadi bagian dari perjalanan Jeepney.
Sosoknya memang dibenci sekaligus dibutuhkan. Oleh karenanya, sejak akhir dekade ’90-an, pemerintah kota Manila memiliki wacana untuk mengakhiri kiprah Jeepney di jalanan ibukota. Namun sikap pemerintah yang tak jelas membuat para pengemudi dan pengusaha Jeepney terombang-ambing.
Beberapa opsi pilihan transportasi perkotaan yang terjangkau pun muncul. Namun bus kota ukuran sedang, tampaknya sangat menjanjikan sebagai penerus Jeepney. Akankah Jeepney akan musnah tergilas jaman? Beberapa pihak berusaha untuk mempertahankan Jeepney meski hanya sebagai kendaraan wisata. Sayang kalau sosok Jeepney yang telah menjadi ikon Filipina ini hilang begitu saja.
Editor | : | Nabiel Giebran El Rizani |
KOMENTAR